Negara Vs Epistemologi dalam Demokrasi
Dalam diskusi Bertema Negara dan Demokrasi, saya selalu menemui masalah ketidaksiapan untuk menerima segala sesuatu, apa adanya. Kita terlanjur memelihara keyakinan bahwa Demokrasi adalah sesuatu yang hebat, dikagumi, serta menunjukkan keperkasaan atau kedigdayaan. Di satu sisi, ini memang positif sebab menunjukkan sejauh mana nasionalisme bekerja dan menjadi energi yang mendorong majunya suatu negara . tapi di sisi lain, ini akan menjadi masalah sebab menunjukkan ketertutupan serta potensi untuk dininabobokan dalam setiap diskusi menyangkut tema ini.
Para antropolog menyebutnya sebagai romantisisme Demokrasi. Romantisisme adalah produk dari idealisasi. Demokrasi selalu saja memiliki romantisisme sendiri-sendiri karena hanya dengan cara demikianlah Demokrasi bisa tetap menjadi the way of life. Bahkan para peneliti pun kerap kali terbius oleh romantisisme Demokrasi. Mereka lalu mereproduksi wacana yang romantis tentang satu sistem Demokrasi, menganggapnya seolah tidak pernah salah, hingga melihatnya sebagai kebenaran absolut yang diwariskan dari pengetahuan masa silam untuk diawetkan generasi masa kini.
Pertanyaan kritis yang selalu saya ajukan adalah jika memang masa silam itu memang gemilang atau jaya, lantas, mengapa harus mengalami keterputusan sejarah di masa kini? Mungkin jawabannya adalah kolonialisme bangsa barat. Tapi kembali muncul pertanyaan, jika halnya adalah kolonialisme, bukankah Para pendiri bangsa kita juga memiliki tradisi yang agung dan adiluhung? Lantas kenapa mereka harus takluk dan kemudian menitip pesan kepada anak cucunya agar meromantisasi segala hal yang terjadi sebelum mereka kalah?
Mungkin ini adalah faktor politik dan kekuasaan. Para pendiri bangsa kita mereproduksi berbagai mitos yang menguatkan dirinya di mata anak cucu. Mereka lalu membangun cerita yang menunjukkan kehebatan, adiluhung, keperkasaan, kekuatan, atau kedigdayaan. Kolonialisme telah mengajarkan kita bahwa sehebat apapun kehebatan para pendiri bangsa kita dalam hal Demokrasi, mereka takluk dan tak berdaya melawan sains dan teknologi.
Saya sering bertanya-tanya. Lantas, mengapa pula kita harus menjunjung tinggi Demokrasi yang diwariskan pada kita hari ini? Jika alasannya adalah demi menjaga kontinuitas budaya Demokrasi, bukankah kebudayaan itu adalah energi yang tumbuh dari suatu masyarakat di setiap zaman? Namun, saya tetap berprasangka positif. Upaya mempelajari Demokrasi mestinya diarahkan untuk memahami suatu masyarakat sehingga bisa memfasilitasi mereka untuk menumbuhkan efek-efek dinamik dalam kehidupan sehingga bisa survive dan berkembang. Upaya mempelajari Demokrasi bukanlah untuk memuji-muji secara berlebihan, kemudian menganggap bahwa sistem Demokrasi tertentu lebih tinggi dari yang lain, sehingga seolah menaklukan dunia. Upaya mempelajari Demokrasi adalah mempelajari hikmah-hikmah dari zaman, menemukan hukum-hukum yang sifatnya universal serta memiliki relevansi dengan masa kini, sehingga menjadi instrumen yang memporak-porandakan pandangan yang melihat Sistem Domokrasi sebagai segala-galanya.
right or wrong is my culture
Masalahnya dalah banyak di antara kita yang menjelmakan Demokrasi sebagai ideologi. Bagi saya, ada perbedaan antara ideologi dan sains (ilmu pengetahuan). Jika epistemologi adalah sesuatu yang meniscayakan keterbukaan, maka ideologi justru meniscayakan ketertutupan. Jika dalam epistemologi ada dialog, maka dalam ideologi, tidak pernah ada dialog. Segalanya serba tertutup. Dalil yang sering dikemukakan penganut ideologi dalam Demokrasi adalah: “Anda bisa saja menunjukkan kesalahan keyakinan saya, namun saya tidak akan menerimanya. Sebab keyakinan saya selalu benar. Titik!”
Lantas, dengan cara apa kita melakukan diskusi bertema Negara dan Demokrasi. Diskusinya harus mengarah pada ruang epistemologis. Konsekuensinya adalah semua pihak mesti berpikir terbuka dan tidak mudah tersinggung. Semua pihak mesti berjiwa dan melihat setiap argumentasi sebagai bagian dari dinamika berpikir yang kelak akan memperluas perspektif kita akan sesuatu. Jika tidak siap berpikir terbuka, maka Demokrasi akan selalu diromantisir. Sebenarnya, tak apa meromantisir, tapi kadang terlalu berlebihan. Pantas saja ada cerita tentang tokoh lokal yang mengalahkan Nabi Muhammad dalam adu tanding kesaktian. Wah, kalau ini sih sudah bisa dikatakan sebagai upaya memanipulasi sejarah. What?
Komentar
Posting Komentar