Langsung ke konten utama

Negara Vs Epistemologi dalam Demokrasi || M. andrean saefudin

Negara Vs Epistemologi dalam Demokrasi

Dalam diskusi Bertema Negara dan Demokrasi, saya selalu menemui masalah ketidaksiapan untuk menerima segala sesuatu, apa adanya. Kita terlanjur memelihara keyakinan bahwa Demokrasi adalah sesuatu yang hebat, dikagumi, serta menunjukkan keperkasaan atau kedigdayaan. Di satu sisi, ini memang positif sebab menunjukkan sejauh mana nasionalisme bekerja dan menjadi energi yang mendorong majunya suatu negara . tapi di sisi lain, ini akan menjadi masalah sebab menunjukkan ketertutupan serta potensi untuk dininabobokan dalam setiap diskusi menyangkut tema ini.

Para antropolog menyebutnya sebagai romantisisme Demokrasi. Romantisisme adalah produk dari idealisasi. Demokrasi selalu saja memiliki romantisisme sendiri-sendiri karena hanya dengan cara demikianlah Demokrasi bisa tetap menjadi the way of life. Bahkan para peneliti pun kerap kali terbius oleh romantisisme Demokrasi. Mereka lalu mereproduksi wacana yang romantis tentang satu sistem Demokrasi, menganggapnya seolah tidak pernah salah, hingga melihatnya sebagai kebenaran absolut yang diwariskan dari pengetahuan masa silam untuk diawetkan generasi masa kini.

Pertanyaan kritis yang selalu saya ajukan adalah jika memang masa silam itu memang gemilang atau jaya, lantas, mengapa harus mengalami keterputusan sejarah di masa kini? Mungkin jawabannya adalah kolonialisme bangsa barat. Tapi kembali muncul pertanyaan, jika halnya adalah kolonialisme, bukankah Para pendiri bangsa kita juga memiliki tradisi yang agung dan adiluhung? Lantas kenapa mereka harus takluk dan kemudian menitip pesan kepada anak cucunya agar meromantisasi segala hal yang terjadi sebelum mereka kalah?

Mungkin ini adalah faktor politik dan kekuasaan. Para pendiri bangsa kita mereproduksi berbagai mitos yang menguatkan dirinya di mata anak cucu. Mereka lalu membangun cerita yang menunjukkan kehebatan, adiluhung, keperkasaan, kekuatan, atau kedigdayaan. Kolonialisme telah mengajarkan kita bahwa sehebat apapun kehebatan para pendiri bangsa kita dalam hal Demokrasi, mereka takluk dan tak berdaya melawan sains dan teknologi.

Saya sering bertanya-tanya. Lantas, mengapa pula kita harus menjunjung tinggi Demokrasi yang diwariskan pada kita hari ini? Jika alasannya adalah demi menjaga kontinuitas budaya Demokrasi, bukankah kebudayaan itu adalah energi yang tumbuh dari suatu masyarakat di setiap zaman? Namun, saya tetap berprasangka positif. Upaya mempelajari Demokrasi mestinya diarahkan untuk memahami suatu masyarakat sehingga bisa memfasilitasi mereka untuk menumbuhkan efek-efek dinamik dalam kehidupan sehingga bisa survive dan berkembang. Upaya mempelajari Demokrasi bukanlah untuk memuji-muji secara berlebihan, kemudian menganggap bahwa sistem Demokrasi tertentu lebih tinggi dari yang lain, sehingga seolah menaklukan dunia. Upaya mempelajari Demokrasi adalah mempelajari hikmah-hikmah dari zaman, menemukan hukum-hukum yang sifatnya universal serta memiliki relevansi dengan masa kini, sehingga menjadi instrumen yang memporak-porandakan pandangan yang melihat Sistem Domokrasi sebagai segala-galanya.

right or wrong is my culture
Masalahnya dalah banyak di antara kita yang menjelmakan Demokrasi sebagai ideologi. Bagi saya, ada perbedaan antara ideologi dan sains (ilmu pengetahuan). Jika epistemologi adalah sesuatu yang meniscayakan keterbukaan, maka ideologi justru meniscayakan ketertutupan. Jika dalam epistemologi ada dialog, maka dalam ideologi, tidak pernah ada dialog. Segalanya serba tertutup. Dalil yang sering dikemukakan penganut ideologi dalam Demokrasi adalah: “Anda bisa saja menunjukkan kesalahan keyakinan saya, namun saya tidak akan menerimanya. Sebab keyakinan saya selalu benar. Titik!”

Lantas, dengan cara apa kita melakukan diskusi bertema Negara dan Demokrasi. Diskusinya harus mengarah pada ruang epistemologis. Konsekuensinya adalah semua pihak mesti berpikir terbuka dan tidak mudah tersinggung. Semua pihak mesti berjiwa dan melihat setiap argumentasi sebagai bagian dari dinamika berpikir yang kelak akan memperluas perspektif kita akan sesuatu. Jika tidak siap berpikir terbuka, maka Demokrasi akan selalu diromantisir. Sebenarnya, tak apa meromantisir, tapi kadang terlalu berlebihan. Pantas saja ada cerita tentang tokoh lokal yang mengalahkan Nabi Muhammad dalam adu tanding kesaktian. Wah, kalau ini sih sudah bisa dikatakan sebagai upaya memanipulasi sejarah. What?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Sejarah PERMAHI

SEJARAH PERHIMPUNAN MAHASISWA HUKUM INDONESIA Fase Awal (IMHJ) Tahun 1971 Berdiri IMHJ (Ikatan Mahasiswa Hukum Jakarta), cikal bakal (embrio) lahirnya PERMAHI. Para Pendiri : Timbul Thomas Lubis Frits Lumoindong Andi Bowo S. Wairo Muryani Thomas Belang, dkk. Tahun 1974, pecahlah peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari), “memaksa” Para Pengurus IMHJ “berangkat” ke Manado pada 21 Januari 1974, karena kondisi organisasi pada saat Malari tersebut tidak kondusif. Sehingga IMHJ seolah-olah jalan di tempat, namun tidak ada pernyataan bubar. Setelah kondusi mulai kondusif, Kembali dibangkitkan oleh : Frits Lumoindong Yan Juanda Saputra B. Budiman Sagala Badaruddin Alwi Jurnal Siahaan Happy Fase PMHJ Beberapa kader IMHJ Mengadakan pertemuan-pertemuan yang menghasilkan kesepakatan untuk mengikrarkan berdirinya PMHJ (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Jakarta), pada 5 Oktober 1980. Dengan kesepakatan itu, terpilih pengurus sementara : Frits Lumoindong ...

BIOGRAFI M andrean saefudin

Namanya M. andrean saefudin Ia anak ke-1 Muhtadin (Petani kopi tradisional,  asal lampung barat) dan Yayah R. sejak SMP ia akrab dengan dunia organisasi dan akademisi. Dimasa SMP-nya terpilih sebagai peserta JAMBORE NASIONAL Pramuka, mewakili kontingen Lampung barat di jatinagor Sumedang Jawa barat tahun 2006, Sekolah Menengah Kejuruan-nya di SMKN 1 Sumber jaya, Lampung barat (2007-2010). Ia merupakan salasatu lulusan dengan nilai ujian nasional terbaik se- Kabupaten Lampung Barat tahun 2010 dan mendapat penghargaan langsung  dari Bupati Lampung Barat Drs. H. Muklis Basri,. MM  kemudian tahun 2013 ia Baru Melanjutkan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Pamulang. Dan ia Menjabat Sebagai Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Fakultas Hukum periode 2015-2016 . Selain itu ia Menjabat Sebagai Ketua Biro Organisasi dan Pembina di Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) DPC. Tangerang periode 2014-2016 dan juga Sebagai Ketua Bidang Perguruan Tinggi Kemahasiswaan dan Kep...

STRUKTUR PENGURUS Kesatuan Angkatan Muda Sriwijaya (KAMSRI) Cabang Tangerang Selatan

STRUKTUR PENGURUS  Kesatuan Angkatan Muda Sriwijaya (KAMSRI) Cabang Tangerang Selatan Periode 2016 - 2018 Ketua Umum : Riyan Hidayat Sekertaris Jenderal  : M. Andrean Saefudin Wakil Sekertaris Jenderal I     : Glamora Lionda (Lampung) Wakil Sekertaris Jenderal II   : Aprido (Jambi) Wakil Sekertaris Jenderal III  : Deyan C. Wijaya (Bengkulu) Wakil Sekertaris Jenderal IV  : Jupri Nugroho (Sumatra Selatan) Wakil Sekertaris Jenderal V   : Kiki Handayani (Sumsel) Wakil Sekertaris Jenderal VI  : Zekha Nanda (Lampung) Bendahara Umum                : Bella ( Sumsel ) Wakil Bendahara Umum I       : Maryati (Lampung) Wakil Bendahara Umum II     : Uphi Samsurin (Bengkulu) Wakil Bendahara Umum III    : Rara tyasandova (Lampung) 1. Kepala Bidang Kaderisasi             ...